Renungan Qolbu

Dalam kitab al-Mahabbah-nya, Imam Al-Ghazali menulis iftitah dengan hamdalah. Setelah itu, ia menyebutkan:

Fa inna al-mahabbah lillah 'azza wa jalla; hiya al-ghayah al-qushwa min al-maqamat wa dzarwah al-'ulya min al-darajat; fa ma ba'da idrak al-mahabbah maqam illa wa huwa tsamratun min tsamariha wa tabi' min tawabi' iha ka al-syauq wa al-uns wa al-ridha wa akhwatiha; wa laqabl al-mahabbah maqam illa wa huwa muqaddimah min muqaddimatiha ka al-tawbah wa al-shabr wa al-zuhd wa ghayriha wa sa'ir al-maqamat. (Sesungguhnya kecintaan kepada Allah Azza wa jalla adalah tujuan puncak dari seluruh maqam dan kedudukan yang paling tinggi. Karena, setelah diraihnya mahabbah, tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu, seperti maqam syauq (kerinduan), uns (kemesraan), ridha, dan lain-lain. Dan tidak ada maqam sebelum mahabbah kecuali pengantar-pengantar kepada mahabbah itu, seperti taubat, sabar, zuhud, dan maqam-maqam yang lain).

Puncak perjalanan keberagamaan kita, menurut al-Ghazali, adalah al-mahabbah, cinta. Kata mahabbah berasal dari kata hubb, yang sebetulnya mempunyai asal kata yang sama dengan habb, yang artinya biji atau inti. Sebagian sufi menyebutkan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan kita. Mereka juga menyatakan bahwa hubb terdiri dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya ruh, dan ba berarti badan. Karena itu, hubb merupakan ruh dan badan dari proses keagamaan kita.

Dalam buku yang ditulis Mir Vali'uddin yang berjudul Love of God (Mencintai Tuhan) disebutkan bahwa Allah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata walaha; walaha-yalihu-ilahan. Ketika kata ilah ditambah dengan alif lam sebelumnya, maka ia menjadi Alllah. Jadi, kata Allah berasal dari kata walaha yang artinya keresahan, kecintaan, dan kerinduan yang dirasakan oleh seorang ibu kepada anaknya. Lalu, kata walaha menjadi ilah, yakni sebagai isim maf'ul (sebagai objek yang di …). Jadi, kata ilah berarti "yang dirindukan" atau "yang dicintai". Dalam kerinduan dan kecintaan itu, ada kegelisahan, ada keresahan spiritual. Dalam bahasa Hindu, kata Allah diterjemahkan menjadi man mohan, yang artinya "kecintaan hati".

Cinta Kasih dan Penghambaan Allah

Kalau kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah yang diungkapkan dalam nama-nama Allah, makna al-Rahman adalah nama Allah yang paling banyak disebut. Ia didampingkan dengan kata Allah. Ketika Allah bercerita tentang 'Asma'ul Husna, al-Rahman dibaca satu napas dengan kata Allah (lihat Q.S. Bani Israil: 110). Dalam Al-Qur'an, sesudah kata Allah, kata yang paling banyak disebut untuk menunjukkan nama Allah adalah al-Rahman. Dan sesudah al-Rahman adalah al-Rahim. Al-Rahman dan al-Rahim berasal dari kata rahima yang artinya menyayangi, mencintai.

Kalau dibuat daftar, maka kebanyakan nama Allah mengungkapkan kasih sayang-Nya. Misalnya kata al-Wadud, dan al-Walud. Al-Wadud berasal dari kata wudd yang artinya "penuh cinta kasih". Sifat ini, oleh Rasulullah, sering dinisbatkan kepada seorang perempuan yang baik. Nama-nama Allah lain yang menunjukkan kasih sayang-Nya adalah al-Wahhab (senang memberikan anugerah); al-Tawwab (senang menyambut orang-orang yang kembali kepada-Nya).

Yang menarik adalah orang yang kembali kepada Allah juga disebut al-Tawwab sehingga al-Tawwab diterjemahkan sebagai "orang yang bertaubat". Dalam Al-Qur'an disebutkan Innallaaha yuhibbu al-tawwabina wa yuhibbu al- utathahhirin. Al-Tawwab adalah nama Allah sekaligus nama hamba yang kembali kepada-Nya.

Dengan begitu al-tawbah diartikan "kembali kepada Allah". Amat sulit jika diterjemahkan dengan taubat saja. Misalnya dalam doa, "Tub'alayna fa innaka anta al-tawwab al-rahim (QS Al-Baqarah : 128). Artinya akan aneh :"Tuhan, bertaubatlah kepadaku. Sungguh Engkau Maha Bertaubat dan Maha Kasih Sayang." Jika kita kembalikan kepada artinya yang asli yakni "kembali" berarti :"Tuhan kembalilah lagi kepadaku. Sungguh Engkau yang paling senang kembali menemui hamba-hamba-Mu, dan Engkau adalah yang Maha Pengasih"

Ada beberapa nama yang selain untuk Allah, juga untuk orang mukmin, untuk kekasih dan pecinta-Nya sekaligus. Kaum sufi menghubungkan hal ini dengan konsep wahdah al-wujud yakni konsep tentang bersatunya sang pecinta dengan yang dicintai. Seperti kata Al-Tawwab tadi, juga kata al-Mukmin, selain merupakan salah satu asma Allah SWT, juga sekaligus nama orang yang beriman kepada-Nya. Jadi banyak nama Tuhan yang sekaligus nama hamba-Nya. Dalam pengertian inilah, banyak orang yang salah paham ketika memahami puisi-puisi Ibn Arabi, misalnya puisi yang berbunyi : "Dia memujiku maka aku memuji-Nya dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya" .Puisi ini sering dikutip untuk menunjukkan kekafiran Ibn Arabi. Padahal kalau dimaknai, puisi itu berbunyi, "Tuhan kau mengabdi kepadaku, akupun mengabdi kepada-Mu." Karena besarnya kasih sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia mengabdi kepada kita dan melayani keperluan kita, seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita. Dalam sebuah doa ahlul bait disebutkan:

"Tuhan Kau penuhi segala keperluanku, Kau berkhidmat kepadaku, seakan-akan Kau tidak mempunyai hamba selain aku. Tapi aku menyembah-Mu seakan-akan Ada Tuhan selain Engkau"

Tuhan berkhidmat kepada kita, seakan-akan tidak ada lagi hamba yang diurus kecuali kita padahal kita menyembah-Nya seakan-akan ada Tuhan selain Dia. Itu berarti Tuhan menghamba kepada kita. Malah penghambaan Tuhan kepada kita jauh lebih besar dari penghambaan kita kepada-Nya, karena Dialah yang mengasihi dan melayani seluruh kebutuhan kita

10 Hal yang Mendatangkan Cinta Kepada ALLAH SWT

AddThis Social Bookmark Button
E-mail Cetak PDF
Cinta Allah

Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya.




Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Saudaraku, sungguh setiap orang pasti ingin mendapatkan kecintaan Allah. Lalu bagaimanakah cara cara untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa hal untuk mendapatkan maksud tadi dalam kitab beliau Madarijus Salikin.

Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dilakukan sebagaimana seseorang memahami sebuah buku yaitu dia menghafal dan harus mendapat penjelasan terhadap isi buku tersebut. Ini semua dilakukan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh si penulis buku. [Maka begitu pula yang dapat dilakukan terhadap Al Qur’an, pen]

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib. Dengan inilah seseorang akan mencapai tingkat yang lebih mulia yaitu menjadi orang yang mendapatkan kecintaan Allah dan bukan hanya sekedar menjadi seorang pecinta.

Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan hati dan lisan atau dengan amalan dan keadaan dirinya. Ingatlah, kecintaan pada Allah akan diperoleh sekadar dengan keadaan dzikir kepada-Nya.

Keempat, lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada kecintaan pada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya. Begitu pula dia selalu ingin meningkatkan kecintaan kepada-Nya, walaupun harus menempuh berbagai kesulitan.

Kelima, merenungi, memperhatikan dan mengenal kebesaran nama dan sifat Allah. Begitu pula hatinya selalu berusaha memikirkan nama dan sifat Allah tersebut berulang kali. Barangsiapa mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, maka dia pasti mencintai Allah. Oleh karena itu, mu’athilah, fir’auniyah, jahmiyah (yang kesemuanya keliru dalam memahami nama dan sifat Allah), jalan mereka dalam mengenal Allah telah terputus (karena mereka menolak nama dan sifat Allah tersebut).

Keenam, memperhatikan kebaikan, nikmat dan karunia Allah yang telah Dia berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah faktor yang mendorong untuk mencintai-Nya.

Ketujuh, -inilah yang begitu istimewa- yaitu menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir untuk beribadah dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya (Al Qur’an). Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan bersama para shidiqin. Kemudian memetik perkataan mereka yang seperti buah yang begitu nikmat. Kemudian dia pun tidaklah mengeluarkan kata-kata kecuali apabila jelas maslahatnya dan diketahui bahwa dengan perkataan tersebut akan menambah kemanfaatan baginya dan juga bagi orang lain.

Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala.

Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kunci untuk mendapatkan itu semua adalah dengan mempersiapkan jiwa (hati) dan membuka mata hati.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber: Madaarijus Saalikin, 3/ 16-17, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul Hadits Al Qohiroh

***
Selesai disusun selepas shalat shubuh, 6 Jumadits Tsani 1430 H, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

    Followers


    ShoutMix chat widget

    visitors

    free counters